> LUTH MURSALINO'S BLOG: POLIGAMI DAN MONOGAMI

Kamis, 30 Desember 2010

POLIGAMI DAN MONOGAMI

POLIGAMI


Poligami adalah perkawinan/pernikahan yang dilakukan seseorang kepada lebih dari satu istri/suami sekaligus.


Poligami terbagi menjadi 3, yaitu:

* Poligini. Pologini adalah seorang pria yang melakukan pernikahan/perkawinan kepada lebih dari satu istri.

* Poliandri. Poliandri adalah kebalikan dari poligini yaitu pernikahan yang dilakukan oleh wanita kepada lebih dari satu orang pira

* Group marriage. Group marriage adalah pernikahan kelompok yaitu gabungan dari poliandri dan poligini.




MONOGAMI


Monogami adalah kebalikan dari poligami yaitu pernikahan yang hanya memiliki satu pasangan pada hubungan yang membentuk suatu pasangan. Kata monogami berhasil dari bahasa Yunani monos, yang berarti satu atau sendiri, dan gamos, yang berarti pernikahan.



POLOGAMI DAN MONOGAMI MENURUT HUKUM ISLAM


Asas Monogami telah diletakkan oleh Islam sejak 15 abad yang lalu sebagai salah satu asas dalam Islam yang bertjuan untuk landasan dan modal dal utama guna membina kehidupan rumah tangga yang harmonic, sejahtera dan bahagia.

Islam memandang poligami lebih banyak membawa risiko madarat daripada manfaatnva. Karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut, akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, balk konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak anaknya masing masing.

Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalab monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetrahsasi sifat/watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamic. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati/dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga.

Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak ak tertutup berkah dengan adanya keturunan yang saleh yang selalu berdoa untuknya. Maka dalam keadaannya yang istri mandul dan suami bukan mandul berdasarkan keterangan medic basil laboratoris suami diizinkan berpoligami dengan syarat

ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.

Marilah kita perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah monogami dan poligami dalam Surat Al-Nisa ayat 2-3:

Dan berikanlah kepada anak anak yatim (yang sudah balig) harta-harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka (dengan jalan mencampur adukkannya) kepada hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak/wanita yang yatim (biia kamumengawininya.). maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kernudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja, atau budak budak yang kamu miliki. Yang demikian itulah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Avat 2 dan 3 Surat AI-Nina di atas berkaitan (ada relevansinya), sebab ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatirn, bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengar, jalan yang tidak sah, sedangkan ayat 2 mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim, yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik dan adil serta si wali wajib memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininva, la tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah r.a waktu ditanya oleh Urwah bin AI-Zubair r.a mengenai maksud ayat 3 Surat An-Nisa tersebut.

Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak hisa herbuat adil terhadap anak yatim. maka wali tidak boieh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu. tapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang istri sampai dengan empat. dengan syarat is marnpu berbuat

adil terhadap istriistrinva. Danjika ia takut tidak hisaberbuat adil terhadap istri-istrinva, maka ia hanya boleh beristri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat zalim terhadap istri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula kalau berbuat zalim terhadap istrinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.

Menurut Ibnu Jarir, bahwa sesuai dengan nama surat ini Surat AI-Nisa, maka masalah pokoknva ialah mengingatkan kepada orang yang berpoligami agar berbuat adil terhadap istri-istrinya dan berusaha memperkecil jumlah istrinya agar ia tidak berbuat zalim terhadap keluarganya. Sedangkan menurut Aisyah r.a yang didukung oleh Muhammad Abduh, bahwa masalah pokoknya ialah masalah poligami, sebab masalah poligami dibicarakan dalam ayat ini adalah dalam kaitannya dengan masalah anak wanita yatim yang mau dikawini oleh walinya sendiri secara tidak adil atau tidak manusiawi.

Mengenai hikmah diizinkan berpoligami dalam keadaan darut dengan syarat berlaku adil antara lain, ialah sebagai berikut:

1. untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul.
2. untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri, atau istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
3. untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.
4. untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup lama

Mengenai hikmah Nabi Muhammad diizinkan beristri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi umatnya ialah sebagai berikut:

1. untuk kepentingan pendidikan dan pengalaran agama. Istri Nabi sebanyak (sembilan) orang itu bisa menjadi sumber informasi bagi umat Islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran Nabi dan praktek kehidupan Nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah kewanitaan/kerumahtanggaan;
2. untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putr Al-Harits Kepala suku Banil Musthaliq.
3. untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi dengan beberapa janda pahlawan Islam Yang telah lanjut usianya seperti Saudah binti Zum’ah (swami meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia), Hafshah binti Umar (suami gugur di Badar), Zainab binti Khuzaimah (suami gugur di Uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami gugur di Uhud). Mereka memerlukan pelindung untuk melindungi jiwa dan agamanya.

Jelaslah. bahwa perkawinan Nabi dengan sembilan istrinya itu tidaklah terdorong oleh motif memuaskan nafsu seks dan kenikmatan seks. Sebab kalau motifnya demikian, tentunya Nabi mengawini gadis-gadis dari kalangan bangsawan dan darl berbagai suku pada masa Nabi masih berusia muda.

Mengenai perceraian, Islam memandangnya sebagai Perbuatan halal Yang paling dibenci agama. sebagaimana Hadis Nabi riwayat Abu Daud. Ibnu Majah. dari Al-Hakim dari Ibnu Umar:

Perbuatan halal yang paling dibenci oteh Allah, adalah perceraian.

Hal ini disebabkan karena perceraian itu bertentangan dengan tujuan perkawinan, ialah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia untuk selamanva. Dan lagi perceraian itu mempunyai dampak yang negatif terhadap bekas suami-istri dan anak-anak.

Karena itu, perceraian seperti halnya poligarni hanya diizinkan kalau dalam keadaan terpaksa (darurat). yakni sudah terjadi syi­qaq atau kemelut rumah tangga yang sudah sangat gawat keadaan­nya dan sudah diusahakan dengan itikad baik dan serius untuk adanya islan atau rekonsiliasi antara suami istri, namun tidak berhasil. termasuk pula usaha dua hakam dan pengadilan, tetapi tetap tidak berhasil. Maka dalam keadaan rumah tangga seperti itu, Islam memberi jalan keluar, yakni “perceraian” yang masih bersifat talaq raj’i. artinya masih memungkinkan suami merujuk istri dalam masa idah. Karena itu, masa idah istri itu dimaksudkan sebagai cooling period atau masa pengendapan untuk merenungkan dengan tenang tentang baik buruknya perceraian bagi keluarga, dan menelusuri apakah penyebab yang sebenarnya sampai

terjadi syiqaq itu dari suami atau dari istri atau dari pihak ketiga?Dengan introspeksi dan retrospeksi, mungkin timbul penyesalan pada suami istri, kemudian berhasrat islah dan niat masing-masing suami istri untuk membina rumah tangga lagi. (Perhatikan Al‑Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 228 dan Al-Nisa ayat 34).

Dan Mengingat madarat yang timbul akibat dari perceraian poligarni itu sangat besar sekali pengaruhnya terhadap kehidupan berkeluarga dan kehidupan bermasyarakat di Indonesia, maka Pernerintah RI berhak dan bahkan berkewajiban untuk memperketat dan mempersulit izin perceraian dan poligarni, sebagaimana

No tersebut dalam UU No. 1/1974, PP No. 9,1975, dan PP 10 1983, demi menjaga kemaslahatan keluarga dan masyarakat. Dan bagi umat Islam Indonesia wajib mentaati peraturan perundang-undangan tersebut, karena tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip di dalamAl -Qur’an dan Sunnah. dan juga mengingat Al-

Qur’an Surat Al-Nisa ayat 59:

Hai sekalian orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlahkepada rasul dan mereka yang mengatur urusan dari kamu.



DAMPAK MONOGAMI DAN POLIGAMI


Persoalan poligami dan diskriminasi terhadap kaum perempuan sudah lama menjadi momok
bagi kaum perempuan. Penolakan terhadap poligami selalu berbenturan dengan budaya dan
politik patriarki yang dijalankan dengan setia oleh pemerintah serta juga organisasi yang
mengatasnamakan agama. Sejarah mencatat bahwa kegigihan kaum perempuan menolak
poligami tidak bisa dibendung, November 1952 sembilan belas organisasi perempuan
menyatakan menentang pemborosan uang negara untuk membayar poligami . Puncak
penolakan terjadi 17 Desember 1953 saat berbagai organisasi perempuan menggelar aksi
demonstrasi.

Saat ini 78 tahun sejak Kongres Perempuan Indonesia I 1928 kaum perempuan Indonesia
masih berhadapan dengan persoalan sama yaitu poligami, yang disahkan dalam Undang-
undang Perkawinan tahun 1974. UU tersebut menjustifikasi poligami meski dengan izin
pengadilan, dan khususnya bagi PNS dengan izin pejabat. (PP 10/1983 dan PP 45/1990)
Sebagai masalah yang bukan baru, poligami dipraktekan di Indonesia sejak beratus-ratus
tahun lamanya mengakibatkan penderitaan pada kaum perempuan dan anak-anak. Karena
itulah kami nyatakan bahwa:
Poligami Mendiskriminasikan Kaum Perempuan, dan manifestasi Kekerasan Pada
Perempuan dan Anak

Budaya patriarki yang kuat membuat poligami tetap eksis. Sistem hukum dan politik yang
didominasi laki-laki semakin memberi peluang poligami merajalela. Atas nama apapun
poligami tak lebih legalisasi Penyaluran Nafsu. Semua adalah pengentalan dan pemapanan
superioritas laki-laki, dan bahwa laki-laki adalah pemilik perempuan.

Undang-undang Perkawinan yang saat ini diterapkan oleh Pemerintah Indonesia secara
nyata dan tegas mendiskriminasikan perempuan, salah satu pasalnya membolehkan suami
untuk beristri lebih dari satu dengan syarat tertentu. Pasal tersebut merupakan pasal
terfokus pada suami/laki-laki. Pasal ini jelas berkacamata patriarki, macho dan maskulin,
sama sekali tak peduli pada istri, pada anak apalagi melindungi perempuan dan menjamin
hak-hak istri/perempuan.

Poligami tak hanya terjadi di kalangan pejabat tetapi di semua lapisan masyarakat dalam
segala macam strata sosial. Karena poligami merupakan keputusan sepihak dari suami
ketika istri tidak mempunyai keberanian untuk menolak (dan tak punya kekuatan untuk
melawan)– disebabkan: budaya patriarki, agama, ketergantungan ekonomi – maka
kebanyakan poligami menyebabkan kekerasan pada perempuan dan anak baik fisik maupun
psikis.

Fakta di seputar poligami menunjukkan banyaknya penderitaan yang timbul akibat
poligami. Penderitaan tersebut dialami baik terhadap istri pertama juga istri yang lainnya
serta anak-anak mereka. Dari 106 kasus poligami yang didampingi LBH-APIK selama kurun
2001 sampai 2005 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri-istri dan anak-
anak mereka, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak-

Sumber:

http://www.scribd.com/doc/13635695/POLIGAMI
http://id.wikipedia.org/wiki/Poligami
http://s3s3p.wordpress.com/2010/01/26/monogami-poligami-dan-perceraian-menurut-hukum-islam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

~DILARANG POSTING BERBAU SARA~